ASSALAMU'ALAIKUM Wr. Wb, SELAMAT DATANG DISITUS KAMI, SEMOGA JODOH, SUKSES - BERKAH SEMUANYA

Rabu, 03 April 2013

BABAD TANAH TALUN




BABAD TANAH TALUN

Sejarah Kelurahan Talun tidak bisa lepas dari sejarah Desa Talun itu sendiri karena memang lahir dari seorang pejuang leluhur kami ”Penderek Pangeran Diponegoro” seperti Eyang Gondho Puro atau Eyang Hadipuro, Eyang Iro Menggolo, Eyang Joyo Hadi Soemitro dan Eyang-eyang lainya. Sejak pecah perang -+ th.1825 s/d th.1830, yang pada ahkirnya Pangeran Diponegoro menyerahkan diri, diasingkan kepulau lain, banyak para pengikut-pengikutnya mengasingkan diri kearah timur dan Babad Alas dengan membuka daerah pemukiman baru untuk dijadikan tempat melangsungkan hidup dengan menyamar karena takut tertangkap Belanda, beliau juga menyebarkan agama sekaligus membawa budayanya masing-masing sesuai karakter tanah yang ditempatinya.

Seperti halnya desa-desa lainnya, sebelum terbentuk sebuah desa pastilah ada sejarah peristiwa panjang yang mengawalinya. Tersebutlah kisah Desa Talun yang di Babad Alas oleh seorang pemimpin sakti juga berwibawa sekaligus memiliki hubungan kekerabatan atau masih kerandah Keraton zaman Mataram Islam bernama Eyang Gondho Puro dengan nama asli ”Raden Panji Kusumo Rekso Hadipuro” dan memang hampir semua Cikal Bakal daerah-daerah di Kabupaten Blitar ini di Babad dan di mukimi oleh orang-orang pelarian dari ”Kulonan” istilah penyebutan dari orang ndalem Keraton Mataram dan berganti nama juga tidak memakai sebutan gelar karena takut dikejar-kejar dan ditangkap pihak Belanda, setelah usai perang dan Pangeran Diponegoro di tangkap Belanda.

Nama Talun diambil dari istilah Jawa ”wis Ke-Talu” yang artinya sebuah kejadian yaitu pada saat Eyang Gondho Puro datang ke daerah Talun yang pada saat itu belum bernama, melihat hutannya pernah ditebang / dibabad oleh orang lain (menurut informasi pada jaman wali pernah disinggahi oleh Syech Jati Putih, dan jaman Majapahit dibuat persembunyian Prabu Jayanegara karena suatu pemberontakan (Dander/ Bedander = Jadi dukuh timur Dusun Sumberjo "Tempat Padepokan") dan telah ditinggalkan yang pertama karena alasan tertentu dan hutan tersebut tumbuh lagi karena sudah lama tapi bekas-bekasnya masih ada. Dari semua kejadian yang panjang ahkirnya para pengikut secara gotong royong memulai babad dan membersihkan dikit demi sedikit dan berawal dari itulah di Kelurahan Talun mempunyai semboyan ”Sayuk Saeka Praya” yang bermakna bekerja bersama-sama.

Pada tahun 1841 Talun mulai ada ”Pemerintahan Desa” yang dipimpin oleh Kepala Desa pertama dengan nama Bapak Nolodrono (data urutan nama KaDes ada di bagan silsilah lurah diatas). Dan pada tahun 1981 Desa Talun berubah menjadi Kelurahan. Perubahan tata pemerintahan ini juga berdampak pada kepemimpinan pemerintahan Kelurahan Talun, kalau dulu Kepala Desa yang pastinya penduduk asli Desa Talun sekarang adalah Kepala Kelurahan yang ditugaskan melalui SK Bupati

Secara garis besar cerita Eyang Gondho Puro atau Eyang Hadipuro dengan nama lengkap Raden Panji Kusumo Rekso Hadipuro (-+ 1831 s/d ..?..) adalah merupakan tokoh Cikal Bakal Talun. Dengan umur 100th lebih, pada saat datang beliau berumur antara 45-50th. Menurut cerita beliau berasal dari Kebumen dan masih kerabat ndalem Sultan Hamengku Bhuwono ke-III dari garwo ampeyan dan beliau mempunyai istri dari Tegalrejo Jawa Tengah dengan nama Niti Sri Utami. Beliau lari mengasingkan diri ke arah timur (wilayah Talun sekarang) bersama keluarga, pengikutnya dan teman-temannya. Eyang Gondho Puro atau Raden Panji Kusumo Rekso Hadipuro berputera tiga, dua anak laki-laki dan satu perempuan yang masing-masing bernama :

1. Kusuma Widjaya atau Jaka Karang (dimakamkan dekat Ayahnya)
2. Indra Djaya atau Suta Negara
3. Dyah Endarwati atau Cempluk.


Semua nama-nama yang didepan adalah nama kerabat ndalem / keraton sedang nama atau (yang dibelakang) adalah nama desa / samaran / nama ”karan” supaya tidak dikenali dalam masa pelarian. Beliau lari dengan kurang lebih bersama 15 orang termasuk keluarganya dan diperjalanan juga banyak bertemu dengan teman-teman seperjuangannya. Istrinya tidak kuat lagi dan meninggal diperjalanan kira-kira disekitar barat Gunung Pegat sekarang. Beliau terus berjalan dan sampailah diwilayah Talun sekarang yang dahulu masih banyak ”blenderan” nya (lumpur dan grasakkan karena faktor alam yang merupakan jalan lahar G.Kelud) dan banyak pohon ”pandan” yang pada ahkirnya sekarang ada lingkungan Dander ya dari kata ”ndan dan nder” dan termasuk daerah Tua  karena jaman Majapahit sudah ada bahkan menurut kisah (Pararaton : 36) untuk mengungsikan Prabu Jayanegara (Raja Majapahit) pada saat pemberontakan Kuti dan Semi tahun 1316 – 1317M ke Badander atau Linkungan Dander sekarang.

Di dekat sungai Ganggangan (perbatasan Sumberjo dan Sempol sekarang) sempat berhenti istirahat beberapa saat dan mengetahui bahwa kawasan Talun sekitarnya bukan yang pertama hutannya ditebang karena dari peninggalan sebelumnya yaitu sudah pernah di babad dan sempat menemukan sebuah kayu tua semacam prasasti dengan huruf Jawa dan sekarang sudah hancur yang berisi dua kalimat penting semacam petuah yaitu :
1. Aja sok lali marang leluhurmu. 
2. Aja sok ngumbar nafsu angkara lan pepinginan nguasani kang dudu jatahe.

Eyang Gondho Puro meneruskan perjalanannya kearah tenggara, daerah Talun Kidul sekarang, dan pernah madepok membuat gubuk disitu kira-kira seumur jagung. Karena terjadi prahara dalam keluarga dan para warganya yang kala itu lagi mBabad Desa beliau pergi....

Singkat cerita beliau, setelah pergi beliau kembali melakukan perjalanan kearah timur laut (sekarang daerah Lingkungan Pagak Talun yang disitu juga ada makam teman beliau dan bernama Eyang Panji) beliau beristirahat dan tertegun melihat sungai yang arah alirannya dari barat ke timur, berarti menghalangi perjalanannya atau magak dalam bahasa Jawa, terus menamakan daerah tersebut ”Pagak”. Perjalanan beliau beserta para pengikutnya tidak semulus yang dibayangkan, dan setiap Cikal Bakal rata-rata pasti mengalaminya karena pada saat itu wilayah yang dibabad rata-rata masih hutan dan angker karena dikuasai lelembut atau mahkluk halus sebangsa siluman yang bertindak sebagai Raja diwilayahnya dan pastilah juga memiliki kesaktian yang hebat maka tidak heran biasanya pada saat mbabad para pengikutnya dilanda pagebluk dan sakit yang tak kunjung sembuh.

Sampai waktu yang telah ditentukan selam 40 hari beliau ber-Wasillah, ber-Uzlah, talak brata, berprihatin / tirakat puasa dan tidak tidur untuk memohon petunjuk kepada Alloh SWT terhadap semua persoalan termasuk pageblug sakit pada saat mbabad wilayah Talun. Ahkirnya mendapat petunjuk ”suara tanpa rupa : Yen Sira sak wargamu ngganda sekar saka tetuwuhan tanah jawa, kang kagowo angin barat arupo Kenanga linambaran Kanthil yo sing dadi pangangen-angenmu, ya kuwi tandha yen wis disepura lan terus bakal mbalik waluya jati sakabehe (jawa:red) bahwa seluruh rangkaian kejadian tersebut akan berahkhir bila sudah mencium bau harum tanaman dari tanah Jawa yaitu kembang Kenanga dan kanthil sebagai perlambang wujudnya angan-angan dan sebagai tanda bahwa sudah di maafkan dan menemui kesehatan sejati.

Eyang Gondho Puro lalu pergi ketempat gurunya untuk meminta petunjuk saran lalu diberikan pusaka berupa Pusaka Tindih dapur Payung Songsong Bhuwono (yang menjadi payunge desa) untuk supaya di tanam di punjer Talun pada saat itu untuk dijadikan ”Pusaka Tindih Desa” Desa Talun dan hal tersebut wajar dilakukan pada saat itu seperti yang pernah Syech Subakir atau Sunan Kalijaga lakukan pada saat mensyarati empat penjuru dan pancer (empat keblat lima pancer) Tanah Jawa dan ahkirnya dikenal dengan Tumbal Syech Subakir. Eyang Gondho Puro juga memiliki tiga pusaka yaitu dua wujud Keris dapur Jalak dan Tilam dan satu lagi wujud Tombak dan juga memiliki penjaga khodam ghaib mahkluk astral yang memeiliki kesaktian dari alam lain berwujud Macan Putih dengan nama Joyo Kuncoro dan Ular Naga Besar bernama Nogo Supit dan Insya Alloh semua masih ada di punjer areal makam cikal Bakal Talun sekarang.

Sejak peristiwa itu seluruh permasalahan berahkir, sirep dan para lelembut siluman penguasa hutan Talun yang belum bernama pada saat itu pergi tanpa arah, ahkirnya beliau disebut Eyang Gondho Puro, gondho artinya bau, sedang puro punya makna maaf, itu sebagai penyebutan ”karan” sesuai apa yang dahulu terjadi. 

Ada beberapa pesan beliau dalam bahasa Jawa sebelum meninggal kepada anak cucu yaitu semua kerandah maupun semua warga penerus Desa Talun terutama kepada para Pemimpin Talun dikemudian hari yang sekarang berubah menjadi Kelurahan Talun diantaranya: 

1.    Aja sok julik marang wong kang lagi susah.

2.  Aja sok seneng nggempil kamardhikaning wong sing jaluk tulung sing wayahe ditulung malah dipenthung.

3.  Aja nyumpeti sumber-sumber sing nguripi para tani, mengko bakal tentrem lan ayem lemu-lemu tandurane, lan sapa sing nandur bakal ngunduh wohing pakerti.

4.  Ngupakara Pepundhen ning aja disembah, awit pepundhi sing wajib disembah mung kagungane Pengeran Kang Murbeng Jagad.

Juga ada beberapa petuah-petuah do’a dan cara berziarah yang tidak bisa kami paparkan di Buku Babad ini, karena termasuk rahasia dan biarlah tetap menjadi rahasia kesakralan dalam hubungan batin antara warga setempat, tokoh Cikal Bakal dan Sang Maha Pencipta Seru Sekalian Alam.

Sebagai akhir cerita dari Eyang Gondho Puro sebelum meninggal, beliau mengalami sakit kurang lebih 7 bulan terus sembuh dan 5 tahun kemudian dipanggil Yang Maha Kuasa menuju ”Kasedan Jati” dengan usia 100 tahun lebih.




























Tidak ada komentar:

Posting Komentar